Virtual Tour
![](assets/img/logopura.png)
Anda bisa melakukan virtual tour untuk menelusuri seluruh wilayah pura Desa dan Puseh Desa Adat Mengwitani secara virtual untuk mengetahui lebih detail keseluruhan pura.
Sejarah Pura Desa & Puseh Desa Adat Mengwitani
Desa Mengwitani berasal dari kata mangu , kata penguasa , kata kekuatan dari Raja I Gusti Agung Putu setelah menguasai seluruh kawasan di kaki gunung mangu, dan kata Thani, maka jika digabungkan akan menjadi ManguThani. Istilah thani merupakan sebidang wilayah dengan pemimpinnya disebut dengan tuha-tuha, kemudian diganti menjadi rama, kemudian orangnya disebut dengan wong karaman. Desa Adat Mengwitani adalah salah satu dari 1.493 Desa Adat yang ada di Bali. Desa Adat Mengwitani termasuk ke dalam kategori "Desa Tua", yaitu Desa Adat yang keberadaannya telah lama ada. Hal tersebut dibuktikan dalam catatan yang terdapat dalam Awig-Awig Desa Adat Mengwitani yang berbunyi "Krama Desa Adat Mengwitani, wawidangan Prebekel Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, ngawit saking tahun Masehi 1930 sampun madruwe awig-awig masurat ring lontar sane munggah ring Pura Desa Adat Mengwitani, sakewanten susunan miwah daging ipun sampun kesampurnayang malih manut kawentenan pikobet ring pemargin Yuga kesejagatan". Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, maka berbunyi "Masyarakat Desa Adat Mengwitani, wilayah Perbekel Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, sejak tahun 1930 masehi telah memiliki Awig-Awig yang ditulis dalam lontar yang berada di Pura Desa, Desa Adat Mengwitani. Akan tetapi, susunan dan isinya telah disempurnakan kembali sesuai dengan keadaan zaman".
Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Mengwitani dibangun oleh wong
karaman (masyarakat) atau wong tani yang membentuk sekumpulan
kecil yang disebut matani. Terbentuknya pura khayangan tiga di
Desa Mengwitani berdasarkan dari hasil penelitian dan wawancara
dengan para pengelingsir yang ada di desa mengwitani , menyebutkan
bahwa Pura Desa awalnya sudah dijadikan satu dengan Pura Puseh dan
tempatnya berada di sebelah timur dari tempat pura saat ini.
Lokasi Pura Desa dan Pura Puseh yang lama tersebut kini menjadi
pura yang bernama Pura Saren Kangin dan sekarang di tempat
tersebut masih ada bangunan pura dengan meru tumpang tujuh,
sebagai Stana Ide Bhatara Wisnu. Penyebab pindahnya Pura Desa dan
Puseh ke atas dikarenakan tempat tersebut sering terkena banjir
dan juga adanya kejadian kekeringan pada sawah-sawah yang menimpa
Desa Mengwitani pada saat itu. Di dalam kawasan Pura Desa dan
Puseh dibagi menjadi Tri Mandal (tiga halaman) yaitu Utama
Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Pada Utama Mandala
terdapat sebuah Gedong Madu yang merupakan tempat malinggih atau
Sthana Ida Sesuhunan yang ada di Pura Desa dan Puseh Desa Adat
Mengwitani. Gedong Madu tersebut merupakan salah satu bangunan
kuno yang diperkirakan dibuat pada jaman pemerintahan Shri Gede
Mengwi (Ida I Dewa Anom Pemayun Putra Dalem Segening) yang
beristana di puri kaleran Bekak. Pada saat itu kerajaan Mengwi
didukung oleh 2 kerajaan besar, yaitu Kyai Batu Tumpeng dan Kyai
Buringkit. Mengwi yang dulunya bernama Kawiya Pura diperkirakan
berdiri sejak tahun caka 1642 atau 1720 masehi. Penguasa Kawiya
Pura membawa pengiring dari soroh Kubayan, Mukuin, Gaduh, Pasek
sebagai pengiring beliau yang berada di sekitaran kawasan kaki
gunung mangu. Sebelum mereka menempati desa setempat atau Desa
Mengwitani (Thani) mereka sudah menemukan beberapa lingga yang ada
di sekitaran kaki gunung mangu tepatnya berada di hutan Kresek
(hutan yang sangat angker), mereka menemukan beberapa lingga yang
sekarang bisa ditemukan di depan Gedong Madu Pura Desa dan Puseh.
Lingga tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Patung laki-laki dengan palud yang besar mengarah kekanan
merupakan simbol pemujaan kepada gunung.
2. Patung perempuan
memilki vagina terbuka yang menyimbulkan simbol segara atau laut.
3. Patung naga merupakan simbol Naga Basuki
4. Anantaboga
merupakan simbol tali energi yang menghubungkan manusia melalui
cakra mahkota dengan Sang Maha Pencipta.
5. Priuk (sangku
sudamala).
Berdasarkan lingga tersebut ditemukan kata Penataran sebagai
simbol terhadap pemujaan alam semesta khususnya hutan, tanah,
binatang, itulah sebagai simbol yang bisa ditemukan di Desa
Mengwitani yang merupakan peninggalan sekta Kala Bhairawa.
Berdasarkan hal tersebut menjadikan Desa Adat Mengwitani telah ada
sejak lama. Dalam satu bangunan Gedong Madu tersebut terdapat dua
pintu yang dikarenakan Pura Desa dan Pura Puseh dijadikan satu
dalam satu lingkup pura. Kemudian terdapat Bale Pamiosan, Gedong
Ratu Ngurah Agung, Sambhyangan Desa, Sambhyangan Puseh,
Sambhyangan Ratu Pasek, Gedong Wastra, Bale Gong, dan beberapa
pelinggih yaitu, Padmasana, Palinggih Ratu Sidakarya, Ratu Sedahan
Penyarikan, Ratu Ngukuhin, Ratu Kubayan, Persimpangan Gunung
Agung, Ratu Nyoman Saksi, Ratu Made, Ratu Pasek, Ratu Manik Mas
Mageni. Selanjutnya pada Madya Mandala terdapat Bale Agung
Palinggih Sedahan Desa, dan Bale Kulkul. Pada Nista Mandala
terdapat palinggih Pan Balang Tamak, Bale Gong, dan di salah satu
tembok panyengker atau pembatas pura, terdapat ukiran bermotif
yang dinamakan Candrasangkala. Candrasangkala merupakan rumusan
tahun dengan gambar atau kata-kata. Setiap gambar atau kata
melambangkan angka. Cara membacanya dari depan dan ditafsirkan
dari belakang. Di Indonesia, Candrasangkala berupa tahun Saka
(icaka) sebagai salah satu pengaruh dari agama Hindu yang
merupakan mayoritas di Provinsi Bali. Pada Candrasangkala yang
dibuat pada tembok penyengker Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat
Mengwitani terdapat ukiran yang berbentuk :
1. Matahari = 1
2. Lawang/angkul-angkul = 9
3.
Awan/ambara = 0
4. Kuda = 7
Dari bentuk ukiran
tersebut memberikan informasi bahwa ukiran tersebut dibuat pada
tahun icaka 1907 atau tahun 1985 masehi. Tidak banyak catatan
sejarah yang dapat ditemui di Desa Adat Mengwitani, terbatas hanya
pada cerita leluhur yang diceritakan dari mulut ke mulut, dari
generasi ke generasi, hingga sampai pada saat ini.